Buku yang Mengungkap Intrik Politik dan Korupsi di KPU RI

avatar

Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Nazaruddin Sjamsuddin terjerat kasus korupsi pengadaan logistik kertas surat suara. Ia ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari dalam penjara lahirlah buku ini, buku yang mengungkap intrik dan permainan politik di balik penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia.

Buku setebal 668 halaman plus xii ini diterbitkan oleh penerbit enesce (Nine Seasons Communication), Jakarta, cetakan pertama Desember 2009. Berisi 49 sub judul tulisan yang dibagi dalam lima bagian isi buku. Diawali dengan puisi 25 bait sebagai pengantar dari Nazaruddin Sjamsuddin sendiri yang berisi tentang curahan hatinya tentang intrik dan politik di Indonesia menjelang pemilihan umum, yang kemudian menyeretnya dalam kasus korupsi. Ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara pada tahun 2005 bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional.

Nazar_bukan tanda jasa.jpg
Buku Bukan Tanda Jasa karya Mantan Ketua KPU RI Nazaruddin Sjamsuddin foto

Keresahan Nazaruddin Sjamsuddin terlihat dalam puisi tersebut, pada bait: Dengan dalih anti korupsi, petinggi negeri menzamlimi,… setelah dipuji, disanjung tinggi, lalu dibanting, dihempas ke bumi. Puisi pembuka pada buku itu ditulis di Jakarta pada 20 Mei 20-9, empat tahun setelah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bagia pertama buku ini berisi sembilan sub judul, diawali dengan cerita bagaimana awal mula Nazaruddin Sjamsuddin bekerja di Komisi Pemilihan Umum (KPU), kemudian dipercayakan untuk menjabat sebagai ketua dari lembaga penyelenggara pemilihan umum tersebut.

Tak mudah bagi Nazaruddin Sjamsuddin memimpin Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia saat itu, ia menulisnya dalam tulisan *Memimpin di Tengah Konflik.” Setelah itu dilanjutkan dengan tulisan bagaimana ia mengenal Presiden Abdurahman Wahid alias Gus Dur, hingga keluarnya Dekrit Presiden, lalu gagasan-gagasan Nazaruddin Sjamsuddin untuk pengembangan dan pemanfaatan information technology (IT) dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Namun ia kemudian malah menjadi sasaran kecurigaan.

Kemudian pada bagian kedua buku ini, Nazaruddin Sjamsuddin memaparkan tentang pengadaan logistik Pemilu, memangkas harga, hingga ada pihak yang menangguk di air keruh dan intrik orang-orang di sekitar kekuasaan yang diungkapnya dalam sub judul “lain dulu lain sekarang”, serta bagaimana ia sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia kemudian dihadang oleh politisi. Namun, ia tetap berusaha untuk melawan kelicikan mereka.
Pada tahap itu Nazaruddin Sjamsuddin terbilang sukses, mampu menjaga martabat bangsa dan memenangkan diplomasi. Namun riak-riak serangan terhadap Nazaruddin Sjamsuddin dan lembaga yang dipimpinnya itu kembali menyeruak ketika proses verifikasi secara menyeluruh, muncul banyak ketidakpuasan akibat dari verifikasi tersebut.

Nazar Jimmy Carter.jpg
Nazaruddin Sjamsuddin ketika menerima kunjungan mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter ke KPU RI pada April 2004 Foto

Selanjutnya pada bagian ketiga, Nazaruddin dalam bukunya itu mengungkap bagaimana kemudian ada pihak-pihak yang mulai meragukan kemampuan KPU dalam penyelenggaraan Pemilu. Nazaruddin Sjamsuddin sendiri mengakui bahwa Pemilu 2004 tersebut merupakan pemilu yang sangat rumit. Namun ia tetap berusaha untuk memandirikan KPU.

Serangan terhadap KPU bertambah ketika proses Pemilu memasuki tahapan Pencalonan Presiden, malah ada calon presiden yang meragukannya. Apa lagi ketika pemilihan presiden kemudian harus dilakukan dalam dua putaran, hingga kemudian Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Inti dan klimaks dari isi buku ini ada pada bagian keempat yang dimulai dari halaman 487 hingga 599. Meski hanya berisi delapan judul tulisan dengan beberapa sub judul di dalamnya, di bagian inilah intrik dan politik yang berujung pada penangkapan Nazaruddin Sjamsuddin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun Nazaruddin Sjamsuddin tidak ambil pusing, baginya What will be, will be.

Penangkapan Nazaruddin Sjamsuddin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut dinilainya sebagai upaya pembunuhan karakter terhadap dirinya, karena ketika penangkapan terjadi sejumlah wartawan dari berbagai media sudah berada di Kantor Komisi Pemilihan Umum, lembaga yang dipimpin Nazaruddin Sjamsuddin, ia yakin bahwa para jurnalis itu stand by di sana setelah diberitahu tentang rencana penangkapan tersebut. “Begitulah kalau kekuasaan tidak didampingi moralitas,” tulis Nazaruddin Sjamsuddin pada halaman 490 bukunya.

Setelah menjalani pemeriksaan di KPK, Nazaruddin Sjamsuddin kemudian dititipkan di rumah tahanan (Rutan) Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya pukul sebelas malam. Ia dimasukkan dalam sel tahanan nomor 6 di Blok B, bersama empat tahanan lainnya di sana juga sudah ditahan Wakil Sekjen KPU Hamdani Amin dan Kepala Biro Keuangan KPU Sussongko Suharjo. Tragis bagi Hamdani Amin, ia meninggal dunia dalam tahanan pada September 2006 setelah dipindahkan dari Rutan Polda Metro Jaya ke Lembaga Permasyarakatan (Penjara) Cipinang.

Setelah menjalani serangkaian persidangan di pengadilan, pada 14 Desember 2005, Nazaruddin Sjamsuddin divonis tujuh tahun penjara, setahun setengah lebih ringan dari tuntutan jaksa. Namun satu bulan sebelum vonis itu, Nazaruddin Sjamsuddin mengaku pernah dibujuk pimpinan KPK dengan janji akan divonis bebas, asalkan bersedia mengikuti keinginan KPK.

Nazar LP Cipinang.jpg
Nazaruddin Sjamsuddin dalam tahanan penjara di Lembaga Permasyarakatan Cipinang foto

Nazaruddin Sjamsuddin menulisnya dalam sub judul “Bujukan KPK” pada halaman 533 bukunya. Saat itu pada 9 November 2005, seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Yuddy Chrisnandy mengunjungi Nazaruddin Sjamsuddin di Rutan Polda Metro Jaya. Yuddy mengaku diminta pimpinan KPK Taufiequrrahman Ruki untuk menyampaikan pesannya.

“Katakan kepada Pak Nazar bahwa saya bisa menggunakan kewenangan saya selaku Ketua KPK untuk membebaskan Pak Nazar kalau Pak Nazar mau mengungkap semuanya.” Mendengar itu Nazaruddin Sjamsuddin terdiam, baginya nama Taufiequrrahman Ruki sudah lama dia hapus dari memori otaknya.

Kepada Yuddy kemudian Nazaruddin Sjamsuddin menjawab, “Yud, tolong sampaikan dua hal kepada Ruki. Pertama saya tidak tahu, saya tidak mendengar dan saya tidak melihat apa yang dilakukan anggota KPU lainnya sebagaimana yang diinginkan. Kedua, bahwa saya tidak mau memfitnah orang lain. Katakan sama dia bahwa saya takut jikalau saya tidak dapat mempertanggungjawabkan di akhirat nanti apa yang telah saya perbuat di dunia ini. Hidup kita di dunia hanya sebentar saja, tetapi nanti di akhirat kita akan abadi. Di sanalah Allah akan meminta pertanggungjawaban kita semua atas perbuatan kita di dunia ini. Jadi saya siap dipenjarakan oleh Ruki. Saya lebih takut kepada Allah dari pada kepada manusia,” tulis Nazaruddin Sjamsuddin pada halaman 534.

Sebulan kemudian Ketua Majelis Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kresna Menon mengetuk palu vonis tujuh tahun penjara untuk Nazaruddin Sjamsuddin. Ia juga diharuskan membayar kerugian negara sebesar Rp5,2 miliar secara tanggung renteng bersama Hamdani Amin, ditambah lagi membayar denda Rp300 juta.

Kemudian pada bagian kelima yang merupakan bagian akhir dari buku “Bukan Tanda Jasa” ini berisi kisah perjalanan hidup Nazaruddin Sjamsuddin sejak masa kecilnya di Peusangan, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh, hingga kemudian berkarir dan menjadi guru besar (professor) di Jakarta.

Selain buku Bukan Tanda Jasa Nazaruddin Sjamsuddin sebelumnya juga sudah menulis banyak buku diantaranya: PNI dan Kepolitikannya diterbitkan pada tahun 1984 di Jakarta oleh penerbit Rajawali Pers. Ia juga menulis buku The Republican Revolt diterbitkan di Singapura pada tahun 1985 oleh ISEAS. Tahun 1989 Nazaruddin Sjamsuddin juga menulis buku Integrasi Politik di Indonesia diterbitkan oleh Gramedia, kemudian buku Pemberontakan Kaum Republik diterbitkan oleh Grafiti pada tahun 1990.

Pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Indonesia pada tahun 1996 juga diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Melestarikan Negara Nusantara Ketiga. Pada tahun yang sama juga menerbitkan buku Resolusi di Serambi Mekkah buku ini diterbitkan oleh Universitas Indonesia (UI) Press. Dan pada tahun 2002 UI Press juga menerbitkan buku Nazaruddin Sjamsuddin dengan judul Mengapa Indonesia Harus Menjadi Negara Federasi .


Posted on RealityHubs - Rewarding Reviewers


0
0
0.000
1 comments
avatar
(Edited)

Hello @isnorman, this post is not a review, it is more of the description of the book, if you're going to make a review about a book, it should contain your thoughts and opinions about the book you can read the post in this link to give you more detailed information on how a good book review looks like.

You can read this post for more information on what kind of posts are acceptable in the Realityhubs community.

If you have further questions, come chat with us on Discord.

Realityhubs Moderator


Posted on RealityHubs - Rewarding Reviewers
0
0
0.000