Antara Lemparan Sandal Emak dan Sholat Tarawih

avatar


Foto Ilustrasi Sholat Tarawih (Sumber: Pixabay/chidioc)

Tulisan ini pernah muat di Kompasiana

Bulan Ramadhan, bagi anak kecil di masa tahun 1980 an sangatlah dinantikan karena rata-rata hari libur sekolah bertepatan dengan momen itu. Tak pelak lagi walaupun di bulan Ramadhan, kegiatan permainan anak-anak di hari libur sekolah itu tetap berlangsung seperti biasa. Ada beberapa di antara mereka yang melakukan puasa setengah hari (di daerah saya dikenal dengan sebutan puasa sapi), bahkan ada yang sudah belajar untuk menunaikan ibadah puasa penuh.

Banyak cerita yang menarik di masa-masa tersebut, apalagi saya pribadi pernah mengalami secara langsung. Salah satunya adalah pengalaman dengan teman masa kecil saya yang bernama Udin (nama samaran). Saya mengenal dia, sebagai anak yang ramah, periang tapi agak bandel. Hal yang menjadi kekuatan pertemanannya adalah dia tidak terlalu pilih-pilih teman, tanpa terlalu rikuh memandang status, agama dan ras teman-temannya. Makanya dia gampang bergaul dan disukai oleh orang lain.

Walaupun begitu, ada satu kebandelanya yaitu suka membantah emaknya. Disuruh pulang cepat kalau habis sekolah, eh malah pulang sore hari pas saat hari menjelang maghrib. Maklum jaman itu, jarang sekali guru-guru sekolah dasar memberikan PR murid-muridnya, berbeda dengan jaman sekarang sehingga biasanya murid-murid habis pulang sekolah menghabiskan waktunya dengan bermain dengan teman sebayanya.

Ada satu kejadian lucu, pada saat hari pertama bulan puasa pada saat itu, dia sengaja pulang menjelang maghrib. Saya melihat ibunya sudah memasang tampang Mak Lampir ketika melihat si Udin dari kejauhan dengan pakaian penuh debu dan lumpur yang mengering. Maklum waktu itu kami habis bermain di tambak tempat pemancingan yang memang sering dikunjungi anak-anak desa untuk bermain.

"Din... Dateng kemah be'en?" (dari mana saja kamu Udin?) ibu Udin setengah berteriak menegurnya.

"Dateng tambek disak mbuk," (dari tambak disana bu) jawab Udin.

Tanpa ba...bi..bu lagi, Udin segera masuk dan mengambil baju dan segera mandi untuk menghilangkan kotoran lumpur yang melekat di tubuhnya. Selang beberapa menit kemudian, saya melihat dari kejauhan Udin sudah terlihat segar, bersih, dan duduk di teras rumahnya sambil menenteng piring berisi nasi dan ikan pindang, dan bersamaan itu suara ajakan menunaikan Sholat Maghrib terdengar dari langgar sebelah rumahnya. Segera dia lahap menu buka puasanya dan segera menghabiskannya agar bisa segera melaksanakan ibadah sholat.

Jam di dinding sudah menunjukan setengah tujuh malam, sudah saatnya untuk berangkat sholat tarawih, tapi masih terlihat anak-anak bermain di lapangan yang ada di kampung itu. Sejak adanya lampu penerangan di lapangan itu, walaupun masih berupa bohlam lampu 10 watt, tempat itu jadi favorit sebagai tempat untuk bermain sejenak bagi anak-anak di waktu senja.

Tiba-tiba terdengar suara ibu Udin menggelegar, mengagetkan orang banyak, bak Jurus Auman Singa yang ada di film Kungfu Hustle. Kami tersentak dan kaku beberapa saat, entah karena takut atau terpana oleh teriakan sang ibu Udin. Yang pasti keadaan menjadi hening sejenak.

"Din... mara... tak sholat tarawih!" (Din... ayo kamu tidak sholat tarawih!) teriak ibu Udin sambil menenteng sandal jepit di tangannya, pertanda siap untuk dijadikan senjata andalan untuk mendisiplinkan Udin.

"Iye... Mbuuk sekejek," (iya bu sebentar) Udin menjawab dengan santai tanpa terlalu mengindahkan ajakan emaknya.

Tanpa banyak cing cong, Ibu Udin langsung melempar sandal jepit yang sudah dipersiapkan tadi. Wusss....! Tapi sayang lemparan terlalu jauh di atas kepala Udin yang kebetulan saat itu sedang berjongkok. Udin pun kaget, tapi dia bukannya malah menoleh ke emaknya, tapi ia terpaku pada sandal ibunya yang berwarna kuning tergeletak sejauh dua meter dari tempatnya. Ibunya berteriak lagi dan mulai menghampiri Udin, dan dia tersadar sekarang sudah saatnya untuk lari menuju langgar untuk menghindari amukan dan segera menunaikan ibadah sholat tarawih.

Semenjak itu, Udin setiap kali kalau mendengar teriakan ibunya agar segera pergi sholat tarawih pasti dia akan segera lari menghindari lemparan sandal tersebut. Karena ia yakin berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, semakin ia membandel dan tidak mengindahkan ajakan sholat tarawih dari emaknya. Niscaya lemparan sandal itu akan semakin menjadi-jadi dan emaknya akan semakin mahir dalam melakukan hal itu. Hal itu terbukti biasanya pada hari ketiga ketika si Udin membandel untuk tidak sholat tarawih, lemparan sandal emaknya sudah pasti mengenai kepalanya, paling apes kena punggungya. Pernah ia mencoba berhari-hari untuk membandel dan ternyata setiap kali ia membandel pasti sandal emaknya mendarat di kepala atau punggungnya, padahal jarak lemparannya itu sejauh tiga puluh meteran.(hpx)



0
0
0.000
0 comments