SEBAB SEBUAH PESAN [Part 2]

avatar



Selalu diawali pesan, hatiku dibuatmu merah jambu. Bagaimana aku bisa lupa, jika kau selalu menemukan cara mencerahkan hariku setiap pagi.

“Aku menunggu ceritamu, berharap kisah itu tidak sekadar fiksi. Kau tahu, seharusnya foto itu adalah kita berdua, di suatu sudut di Amerika.”

Tak mengerti, mengapa kau mencintai Amerika sebagai salah satu tujuan utama. Sedang dalam daftar impianku, negara itu tak pernah muncul sebagai nama yang memikat ditinggali. Seperti kota Jakarta. Mengingatnya saja, hatiku jadi sesak. Ibukota yang meluluh lantakkan impian. Aku belum menceritakan kisah yang satu itu.

Dia bintang jatuhku suatu ketika. Aku memanggilnya “Mas” atas kerelaan memenuhi permintaannya. Padanya kugantungkan banyak harapan, dan kuberikan pula satu-satunya cinta yang kupunya. Dia meyakinkan, jarak cuma bilangan angka, sebab niat baik selalu menemukan cara.

Tapi Jakarta menenggelamkan dia dalam kesibukan. Sayangnya, seorang perempuan tidak mencukupkan hatinya. Jarak kemudian jadi alasan. Seperti banyak kisah klise lain, aku merasa jadi korban sebuah perasaan yang telanjur diabadikan dalam pertunangan. Lalu bertahun-tahun aku merawat luka-luka agar sembuh sempurna, namun ingatan pada harapan yang kandas mematrikan peristiwa dengan paripurna. Sejak itu, aku selalu enggan menginjak Jakarta jika tidak terpaksa.

Sampai suatu ketika, rahangmu yang kokoh muncul di hadapanku untuk menambah satu daftar kenangan. Bagaimana kau ternyata setabah itu menahan satu permintaan bertahun-tahun sedang hatiku sendiri juga diam-diam memekarkan keinginan?

“Kita kebagian tugas bicara di museum Neka, ya? Kenalkan, saya penulis novel ini.”

Sebuah buku kausorongkan sebagai tanda perkenalan. Meski sebetulnya tidak perlu, wajah dan namamu sudah tertera di buku panduan dan website festival.

Ubud yang biasanya sejuk, terasa sedikit gerah siang itu. Tidak, itu bukan pertanda seperti dalam banyak awalan kisah cinta. Memang cuaca sedikit lebih panas daripada biasanya. Dan lelaki Australia keturunan Yunani di sebelahku tidak juga mengerti bahwa kau sedang melakukan pendekatan. Konyolnya, dengan sengaja kau bolak-balik menulis pesan di secarik kertas lalu menyuruh lelaki itu memberikannya padaku. Tentu, maksudmu agar kita tidak berisik mengobrol di tengah diskusi sesi orang lain di Left Bank sebelum tiba jam giliran kita mengisi di Neka. Kita jadi seperti anak sekolah yang sedang bersekongkol kabur di tengah jam pelajaran. Dan ketika lelaki itu merasa terganggu dan menukar tempat duduknya denganmu, aku disergap kepanikan yang tidak biasa. Kepanikan yang sesungguhnya kukenali pernah menyiksaku di masa lalu.

Bersambung





0
0
0.000
0 comments