Bernyanyi Dalam Badai Covid-19

avatar

pengamen jalanan2.jpg

Pimet dan temannya, mengamen di sebuah perempatan lampu merah

Di sebuah jalanan padat terdengar suara nyanyian seorang pengamen jalanan, yang beradu dengan berisiknya deru mesin motor dan mobil. Dengan gitar akustis elektriknya dan mike yang dibantu dengan loudspeaker aktif jinjing membuat suara vokal merdunya dapat didengar oleh para pengendara motor dan mobil yang berhenti perempatan lampu merah itu.

Kala waktu merah menyala, ia mulai memetik gitarnya dan bernyanyi, pada saat bersamaan seorang pemuda yang berpakaian hoddie berwarna abu-abu segera beranjak dari samping pengamen itu dan berjalan ke tengah-tengah kerumunan para pengendara itu seraya membawa kotak plastik besar berwarna putih dan menyodorkan kepada mereka untuk mendapatkan sumbangan ala kadarnya. Tak lama kemudian ia kembali lagi ke trotoar saat lampu hijau menyala.

Di sela-sela kegiatannya itu, saya mendekati sang penyanyi dan mohon ijin untuk berbincang-bincang sebentar. Penyanyi jalanan itu mengangguk sambil tetap melantunkan lagu-lagunya dengan memetik gitarnya dengan sigap , tak lama kemudian ia berhenti sejenak memanggil temannya yang baru saja mengumpulkan sumbangan.

Pimet, nama panggilan si pemuda pengumpul sumbangan itu, ia selalu setia mendampingi sang penyanyi jalanan itu. Sejenak ketika lampu berubah hijau, dia pun segera merapat ke trotoar untuk melayani permintaan saya, agar bisa bincang-bincang sebentar seputar kehidupannya dalam mencari nafkahnya di jalanan itu. Dengan tersenyum ramah kami mulai berbincang-bincang. Ia mulai menceritakan sudah setahun lamanya ia telah mencari nafkah dengan cara mengamen di jalanan kota Sidoarjo, bahkan sudah empat kali merasakan kena rasia satpol PP. Dia berpendapat bahwa tidak semua seniman musik mau menjadi pengamen jalanan seperti dia, karena harus menahan panas terik sinar matahari siang. Maklum mereka bekerja mulai jam sembilan pagi hingga jam satu siang.

Disela-sela pembicaraan ia mengungkapkan, “Dulu sebelum adanya Corona, kami masih bisa manggung tapi sekarang sudah tidak lagi”. Sebenarnya anggota grup mereka ada empat orang, akan tetapi karena kondisi pandemik ini, dengan terpaksa menghentikan kegiatan manggung mereka dan hanya tinggal berdua saja yang aktif mengamen.

“Kami sering manggung di satu tempat, di daerah Ngoro,” Pimet melanjutkan ceritanya kembali. Dulu sebelum adanya aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ia dan teman-temannya bisa melakukan dua pekerjaaan yaitu menerima panggilan untuk melakukan pentas di suatu tempat dan sambil mengamen di sela-sela tidak ada pekerjaan untuk manggung.

Akan tetapi setelah terjadinya PSBB dan kondisi new normal , otomatis pekerjaan jadi pengamen jalananlah yang menjadi sumber penghasilan utamanya, walaupun pekerjaan itu dijalani dengan penuh resiko karena harus berhati-hati agar tidak terkena rasia satpol PP. Walaupun begitu ia bersyukur karena bisa mendulang rejeki di jalanan bahkan pernah mendapatkan pemasukan sebesar tiga ratus ribu Rupiah dalam sehari.

Tanpa terasa perbincangan santai kami mulai mengarah menjadi sebuah diskusi serius , dan sudah beberapa kali lampu merah terlewati sehingga banyak waktu terbuang untuk Pimet, meminta sumbangan pada para pengendara. Rasanya tidak enak untuk mengganggu mereka di saat sedang bekerja. Segera saya akhiri diskusi kecil itu dan mohon pamit kepada mereka seraya berterima kasih sambil memasukkan sedikit uang dalam kotak putihnya sebagai imbalan bagi sang penyanyi karena telah melantunkan suara merdunya di jalanan itu.

Terlihat ia segera berlari terburu-buru sambil merapikan maskernya, kembali menuju jalanan yang penuh dengan pengendara motor dan mobil itu. Jalanan yang penuh asap dan debu, dari kejauhan terdengar sayup suara petikan gitar dan nyanyian pengamen itu. Sebuah nyanyian yang terlantun dalam situasi Badai Covid-19.(hpx)



0
0
0.000
0 comments